-Minggu, 21 April 2024
260 Juta rakyat Indonesia kini sedang dipertontonkan "dagelan politik" tingkat "Dewa". Tak Terima kekalahan, " Serobot " Kemenangan lawan pun dilakukan dengan dalil "Kecurangan" dan akhirnya minta MK Diskualifikasi Pasangan Pemenang Nomor 02. Minggu, 21/04/2024.
Redaksi Aktualdetik.com mengangkat tema soal polemik hasil Pilpres tahun 2024. Membahas topik ini, Dewan Redaksi Aktualdetik.com hari ini menngelar program Editorial Redaksi dengan menghadirkan ketua Dewan Redaksi, Feri Sibarani, S.H, M.H, yang dalam pernyataannya hari ini, menyebutkan bahwa dalil-dalil pemohon dari pasangan 01 dan 03 sesungguhnya tidak relevan sebagai objek perkara di ranah peradilan Mahkamah Konstitusi (MK).
Merujuk dari fakta persidangan sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (28/3/2024) saat giliran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka memberikan tanggapan, sangat jelas dan gamblang untuk diketahui.
Bahwa sesungguhnya semua proses pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sejak awal pendaftaran hingga pengumuman hasil pemilu berjalan dengan baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.
Melansir situs resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), Yuri Kemal Fadhullah yang mewakili pihak terkait menolak seluruh dalil-dalil yang disampaikan Pemohon. Menurutnya, dugaan-dugaan perkara tersebut bersifat asumtif dan tidak memiliki alat bukti yang cukup kuat.
Poin selanjutnya terkait dengan Yuri memandang permintaan pemohon gagal membuktikan dasar-dasar perhitungan yang didalilkan dan malah mendalilkan hal-hal kualitatif mengenai dugaan kecurangan dan pelanggaran yang tidak didukung oleh alat bukti dalam hukum acara MK.
Dia menekankan bahwa pemohon wajib menguraikan secara jelas, spesifik, dan gamblang siapa yang melakukan, apa yang dilakukan, dan di mana dilakukannya.
Sementara itu, Anggota Bawaslu, Puadi, juga menyampaikan pandangan terhadap dalil pemohon mengenai manipulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Puadi mengungkapkan bahwa Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu yang pada intinya tidak memenuhi syarat materiil.
Berdasarkan serangkaian dalil ini, pemohon meminta agar MK membatalkan keputusan KPU tentang hasil penetapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 serta mendiskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon peserta Pilpres 2024.
Hal ini menurut Feri Sibarani, sangat tidak berdasarkan hukum yang ada, yang tertuang, baik dalam UUD 1945 mahupun UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemiu. Menurutnya semua keinginan yang dimohon tim 01 dan 03, baik dalam petitum pemohon maupun secara langsung, adalah merupakan bentuk lain dari "Politik Kotor" dan hanya ingin "Menyerobot" kemenangan lawan secara licik.
, "Ranah MK sudah jelas hanya terbatas ingin memeriksa dan memproses sengketa hasil pemilu yang mempengaruhi perolehan suara secara nasional. Dan itu hanya pada pelanggaran yang disebut sebagai Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM). Dengan membuktikan didepan majelis hakim MK secara meyakinkan dan terperinci sehingga, MK dapat membatalkan hasil perhitungan suara, " Urai Feri.
Disisi lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan tegas menolak segala tuduhan kecurangan yang dialamatkan kepadanya terkait penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (SIREKAP) dalam Pilpres 2024.
Penegasan ini disampaikan oleh Hifdzil Alim, kuasa hukum KPU, dalam sidang lanjutan penanganan perkara PHPU Tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (28/3/2024).
Menurut Hifdzil, SIREKAP hanyalah alat bantu untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan umum. Dia menegaskan bahwa aplikasi tersebut telah diatur secara resmi dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024 dan Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024.
"SIREKAP hanya berperan sebagai alat bantu publikasi dan penghitungan suara Pemilu, bukan dasar dalam menetapkan hasil pemilihan umum," ungkap Hifdzil.
Lebih lanjut, Hifdzil menjelaskan bahwa proses penghitungan suara tetap mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu. Mulai dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga tingkat nasional, seluruh proses tersebut telah diatur dengan jelas dalam undang-undang yang berlaku.
Dia juga menyoroti bahwa tidak ada keberatan yang diajukan oleh Pemohon terhadap proses pemilihan umum, termasuk terkait pencalonan Prabowo-Gibran. Hifdzil menegaskan bahwa jika Pemohon memiliki ketidakpuasan, seharusnya mereka mengajukan keberatan selama proses pemilihan umum berlangsung, bukan setelah hasil penghitungan suara diumumkan.
"Dalil Pemohon tentang kecurangan yang dilakukan melalui SIREKAP tidak terbukti," tegasnya.
Sebagaimana diketahui, pasangan Prabowo-Gibran menang dengan suara 96.214.691 atau 58,59%. Anies-Muhaimin berada di posisi kedua dengan perolehan suara 40.971.906 atau 24,95%. Sedangkan, Ganjar-Mahfud berada di posisi ketiga dengan perolehan 27.040.878 suara atau 16,47%
Anehnya menurut Feri Sibarani, Ganjar-Mahfud dalam permohonan mereka menyoroti kekosongan hukum dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu) yang menyebabkan tidak adanya mekanisme untuk menangani pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dilakukan selama Pilpres 2024.
,"Mereka menegaskan bahwa kekosongan ini memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi. Pasangan tersebut juga menilai bahwa instrumen penegak hukum pemilu saat ini tidak efektif, dengan DKPP yang dinilai tidak independen dan Bawaslu yang dianggap tidak efektif dalam menangani pelanggaran yang dilaporkan. Ini kan sudah melenceng jauh dari tupoksi MK, sehingga cenderung hanya mengada-ada dan karena tidak tetima kekalahan," lanjut Feri.
Belakangan, Otto Hasibuan, ketua tim kuasa hukum dari pasangan 02 Prabowo-Gibran, yang mewakili pihak terkait, menyatakan bahwa mereka tidak terpancing oleh tuduhan kecurangan yang dilontarkan oleh pemohon. Otto yang juga Wakil Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran menegaskan bahwa mereka tetap berpegang pada prinsip kejujuran.
," Secara tegas Otto juga menyoroti bahwa perkara ini seharusnya tidak diajukan ke MK, melainkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), karena isi permohonan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dia menegaskan bahwa petitum pemohon tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di MK, " Tandas Feri Sibarani.
Bahkan Lebih lanjut diketahui Otto menyatakan sebenarnya yang melakukan kecurangan adalah pihak pemohon. Mereka dinilai melakukan upaya-upaya yang tidak berlandaskan hukum dengan mencoba menegasikan jumlah suara sah sebanyak 96.214.691 dari rakyat Indonesia. Upaya pemohon ini dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap demokrasi.
Kemudian, terkait dalil pemohon yang menunjukkan adanya intervensi dari Presiden Joko Widodo dan para menteri dalam pemilihan, dianggap sebagai hal yang mengada-ada. Feri Sibarani menganggap pernyataan itu hanya menggiring opini sesat dan hanya strategi politik kotor.
Kemudian Feri Sibarani yang merupakan jebolan fakultas hukum dari Unilak Pekanbaru dengan konsentrasi Hukum Tata Negara itu, mengatakan, sifat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang final diakui sering dipersoalkan. Problemnya antara lain ketika para pencari keadilan merasakan adanya ketidakadilan Putusan MK. Namun disebutnya, tidak ada lain yang dapat dilakukan kecuali menerima dan melaksanakan Putusan tersebut.
," Secara konsep di Peradilan MK, kendati keadilannya dibelenggu dan dipasung oleh Putusan MK, para pencari keadilan, khususnya Pemohon tidak punya pilihan lain. Apapun nantinya keputusan MK terkait proses yang berjalan, wajib mengikat semua pihak dan harus diterima, " Katanya.
Menanggapi pernyataan Tim Hukum pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Sugito Atmo Prawiro baru-baru ini, dimana pihaknya optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) akan mendiskualifikasi calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka dari pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Feri Sibarani justru mengatakan, keinginan itu adalah sebuah sikap yang menolak hasil Demokrasi. Dan cenderung sebagai bentuk "Politik Kotor" merampas kemenangan Rakyat dan diduga sebagai Pesanan dari Lawan Politik Jokowi.
, "Jadi harus di ingat oleh pihak pemohon dari pasangan 01 atau 03, bahwa setelah adanya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah final dan tetap serta mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka secara yuridis KPU hanya akan mengikuti hukum yang telah dimaknai oleh Putusan MK tersebut, dan tidak boleh lagi dipermasalahkan peraturan yang lain yang yang mengatur hal yang sama. Tuduhan-tuduhan mereka dan keinginan soal adanya Diskualifikasi, itu kami duga sebagai Pesanan lawan politik Presiden Jokowi," Jelasnya.
Menurutnya, pasangan calon nomor urut 01 dan 03 tidak boleh lagi mempersalahkan aturan Undang-Undang lain, pasca putusan MK tersebut, yakni khusunya terkait penetapan usia terendah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Karena disebutnya, sebagai konsekwensi dari amanat UUD 1945 pasal 24 C tentang kewenangan MK, maka tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan, selain menerima putusan itu sebagai sumber hukum.
Feri Sibarani juga mrnyebut, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi, mempunyai karakter
khas yang membedakannya dengan peradilan umum atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut menurutnya ialah sifat putusan MK yang ditentukan bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya.
,"Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukum lain, termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dan
melalui Grasi. Jadi sangat tidak berdasar apa yang dikatakan oleh tim kuasa hukum dari pasangan nomor 01 atau 03 untuk kembali mempermasalahkan soal dasar hukum yang digunakan oleh KPU saat penetapan usia terendah dari pasangan Presiden dan wakil Presiden. Itu hanya keinginan yang "Jahat" dan ingin merampas kemenangan Rakyat Indonesia yang sudah berproses secara Demokrasi, " Pungkas Feri Sibarani.
****Hobbi Pargaulan****
Sumber: Redaksi Aktualdetik.com
Program: EDITORIAL
0 comments:
Posting Komentar
Harus bersifat membangun